Kenapa Bisa Kecewa Itu Hadir Dari Mereka Yang Taat Beragama?

Kamu kecewa? Karena orang-orang dengan latar belakang agama yang kuat? Dengan mereka yang belajar agama secara kontinu?

Kamu kecewa? Dengan orang-orang yang menurutmu seharusnya tidak begitu. Kamu kecewa? Karena ada kebaikan dengan memutuskan untuk memilih mereka yang selalu berupaya terlihat taat?

Ah sudahlah, Tidak ada yang salah dengan agama. Jadi janganlah untuk mencoba membawa agama dalam rasa kecewamu.


Beragama, menerapkan agama dan selalu berupaya tampil beragama kadang tidak merasuk ke dalam hati. Hanya sebatas baca dan belajar saja. Kadang Agama yang dipelajari hanya mengambang dipermukaan tak benar-benar masuk dan meresap dalam jiwa.

Kenapa ini terjadi? Sekali lagi yang salah bukan agamanya, tapi yang salah adalah orangnya. Orangnyalah yang membuat agama mengambang dan hanya terlihat di luar. Tak benar-benar masuk dalam hatinya.

Ini hanyalah pengalaman pribadi. Tidak ada sangkut pautnya dengan siapapun, atau lembaga apapun. Di blog ini Saya hanya menuliskan sebuah keluh kesah. Daripada sumpah serapah yang tak akan pernah berkah.

Ini hanyalah pengalaman duka. Dari hancurnya sebuah rasa percaya pada yang Saya sebut orang taat beragama.

Saya kecewa entah karena Saya yang tidak memahami jalannya ataukah Saya yang benar-benar awam akan alur cerita.

Cerita ini Saya tulis hanya sebatas pelepas dahaga sebagai manusia biasa. Setelah semua luka Saya adukan kepada Allah Azza wa Jalla.

Cerita bermula selepas SMA, Saya diajak bergabung dengan sebuah komunitas yang selalu mengadakan majelis ilmu sekali seminggu.

Saya ikut namun hanya beberapa kali saja. Saya mencoba untuk berfikiran positif. Mungkin hanya saja Saya yang tidak terbiasa dengan system otoriter satu arah.

Saya (mungkin) tepatnya dilarang bertanya. Mereka menyebutnya hindari lah debat dan mendebat. Padahal menurut hemat Saya, apa yang Saya lakukan bukanlah mendebat tapi hanyalah system bertanya dua arah dalam sharing ilmu.

Tidak lama Saya memutuskan untuk berhenti dan tidak ikut pengajian tersebut. Meski dalam hati Saya terus berdoa tetap bisa menimba ilmu dalam kajian dan majelis ilmu.

Meski telah berhenti Saya masih tetap aktif sebagai partispan dalam setiap kegiatan yang mereka lakukan. Saya tetap berkomunikasi dengan beberapa senior dengan gaya penyampaian berbeda.

Waktu pun terus berlalu, Ada satu masalah yang terjadi dalam system mereka. Saya yang tergabung dalam grup facebook mereka ikut memberikan komentar. Komentar yang intinya adalah jika memang tidak bersalah kenapa tidak transparan dengan yang terjadi.

Dalam komentar itu Saya berharap ada tranparansi agar masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ini Saya lakukan biar tidak ada kesalahpahaman ide dan tujuan dalam masyarakat.

Namun apa daya, Saya malah di serang oleh mereka dengan kata-kata kasar. Bahkan Salah seorang moderator di grup malah menyangkut pautkan kejadian di grup dengan masalah pekerjaan Saya waktu itu.

Dia menyebut jika tidak senang dengan tempat bekerja jangan bawa masalahnya kesini. Sekedar info waktu itu kakak dari seorang moderator grup adalah pimpinan cabang di tempat Saya bekerja.

Waktu itu, Waktu Saya berkomentar di grup, kebetulan Saya lagi berhenti di tempat kerja tersebut. Sayangnya entah apa alasannya moderator tersebut justru mengaitkan dengan pekerjaan Saya. Sangat lucu. Namun itulah kenyataannya.

Di dalam balas komentar (Saya lebih suka menyebutnya diskusi) meski mereka menganggap Saya menyerang induk organisasi mereka. Padahal saran transparansi Itupun cukup lumrah diajukan.

Tapi entah mengapa justru mereka menyerang Saya. Beberapa dari mereka adalah kaum perempuan dan beberapa dari mereka justru melontarkan makian yang tidak baik. Sekali lagi Saya kecewa.

Kecewa dengan reaksi dan tanggapan mereka akan sebuah permasalahan dan tanggapan mereka terhadap komentar dan masukan. Sampai sekarang Saya masih mengingatnya.

Hingga waktu pun berlalu, Meski sudah tidak aktif lagi Saya tetap menjadi partisipan aktif tidak langsung. Beberapa kali pemilihan Saya tetap merekomendasikan mereka pada teman, kelurag dan sahabat.

Saya sendiri tetap setia memilih dari A sampai dengan Z golongan mereka. Tidak ada dendam yang Saya patri dalam hati. Saya tetap keukuh kalua kesalahan terjadi karena oknum bukan dari apa yang mereka pelajari.

Hingga pertengahan tahun 2019, Saya tetap menjalin hubungan baik dengan beberapa senior. Saya masih berkomunikasi dan diskusi tentang sebuah permasalahan. Saya tetap memilih mereka sebagai tempat pertimbangan mengambil keputusan.

Akhirnya, Pertengahan November peristiwa penting ini terjadi. Dari merunut proses Saya sudah sedikit curiga ada yang tidak baik dalam pribadi ini. Saya mengatakan ini bukan berarti Saya lebih baik. Tapi ada alasan mendasar yang membaut Saya menyimpulkannya.

Salah satu alasannya adalah Saya tetap berpikiran bahwa mereka yang mengaji, Ikut pengajian sekali seminggu dan sholat yang tidak pernah lupa adalah orang yang baik.

Oleh karena itulah Saya memutuskan untuk mencari jodoh dengan cara Ta'aruf. Cara yang baik menurut Islam. Benar, Taaruf adalah satu-satunya cara dalam islam yang dianjurkan dalam memilih pasangan.

Saya melalu beberap proses, Sama seperti proses Ta'aruf lainnya, Bertukar biodata foto dan yang terpenting adalah istikharahnya.

Hingga sampailah masa Ta'aruf bertemu dengan yang bersangkutan didampingi guru. Di sini Saya menceritakan banyak hal, tentang pribadi Saya, hingga keuangan yang Saya miliki.

Dalam proses ini Saya menyampaikan kekurangan Saya adalah emosional dan introvert. Di sini juga Saya menyampaikan bahwa Saya tidak nyaman dengan keramaian.

Tak lupa Saya juga menyampaikan bahwa Saya adalah tipe introvert suka melakukan perjalanan sendirian. Semua berjalan lancer sampai teman Saya yang merekomendasikan Saya juga menjelaskan apa itu introvert.

Mungkin Dia menangkap apa yang ingin Saya sampaikan sebenarnya atau entahlah yang jelas ingin menyampaikan Saya adalah emosional nan introvert sekali.

Berlanjut proses silaturahmi ke rumah orangtua pihak perempuan. Di sini sekaligus proses khitbah atau melamar. Saya didampingi guru (Suami Istri) dari pihak perempuan.

Saya sempat terkejut ketika orangtua Dia menyebutkan bahwa Dia ditanya kapan menikah, udah ada calon atau belum. Jawaban yang diberikan (Saya lupa redaksinya) tapi yang jelas kalimatnya tidak bagus untuk seorang anak perempuan ke keluarganya.

Proses lamar berjalan lancar, Hingga berlanjut proses hitung hari. Di sini pihak Saya sudah menyampaikan bahwa Saya tidak aka nada hajatan. Tapi dikarenakan pihak perempuan adalah satu-satunya anak perempuan yang terakhir belum menikah. Maka tetap diadakan hajatan.

Sampai di sini Saya sungguh sangat kecewa. Karena telah melanggar dan tidak memperhatikan apa yang telah Saya sampaikan di saat Ta'aruf. Yaitu perihal introvert dan Saya juga termasuk Bipolar Disorder dengan tambahan ochlophobia.

Jika kalian tidak tahu dengan apa itu introvert, Bipolar disorder dan Ochlophobia silahkan search di google. Pengertian dari hal-hal yang Saya utarakan itu.

Namun semua tidak bisa Saya tangguhkan lagi. Semua telah dihitung dan dirampungkan. Kelebihan Ta'aruf di sinilah, yang berperan penting adalah wali masing-masing.

Saya coba utuk menguatkan diri. Saya beberapa kali mencoba searching artikel tentang cara mengatasi gugup dan lain-lain. Bukan tidak ada usaha, Saya terus berusaha mengatasi kecemasan dan ketakutan pada keramaian.

Alhamdulillah berkat membaca artikel dan praktek Saya bisa menerapkan beberapa tips mengatasi introvert, Ochlophobia dan Bipolar disorder yang Saya miliki.

Hingga hari itupun tiba. Hari dimana Saya melaksanakan prosesi ijab danQobul secara Agama Islam. Saya telah belajar banyak mengatasi ketakutan, Keramaian dan Kontrol emosi.

Namun Ada saja yang membuat emosi Saya benar-benar terpancing. Mulai dari leletnya tetua adat hingga kedatangan Saya di kantor urusan agama pun tidak sesuai jadwal.

Baru tiba saja di KUA Saya mendapati komentar negatif dari pihak perempuan, Mengatai Saya sangat lelet dan tidak tepat waktu. Saya akui itu memang kesalahan Saya, Tapi bukan sayalah penyebab leletnya.

Menurut hemat Saya Dia (Yang berkomentarpun) tidak pantas mengeluarkan komentar seperti itu. Saya mencoba menahan emosi dan menerapkan tips Kontrol emosi yang Saya pelajari. Berhasil hingga saat itu Saya tidak meledak.

Pada saat prosesi minta maaf kembali emosi Saya terpancing. Memang saat itu Saya dan pengantin wanita diminta untuk minta maaf kepada orangtua masing-masing. Namun yang membuat Saya emosi adalah Dia membelakangi orangtua perempuan kandung Saya.

Sikap menungging pun terpampang jelas di hadapan Saya. Waktu itu posisi ibu Saya di saming Saya, jika ditarik garis maka posisi kami seperti garis segitiga. Ah sekali lagi Saya sangat berhasil menerapkan Kontrol emosi di sini.

Hingga prosesi berlangsung khidmat, Berkali-kali Saya dapati sikap kasar dan suka berteriak dari Dia yang Saya pilih karena ilmu Agamanya. Dia yang ikut pengajian sekali seminggu selama bertahun-tahun.

Tapi di depan mata Saya, Dia berkali-kali bersikap kasar bahkan pada orangtuanya. Beberapa photographer kena bentak dengan bahasanya yang tidak ada lembut-lembutnya. Apa Saya meski kecewa? Di sini Saya kubur Rasa kecewa dengan rasa syukur yang sangat.

Saya terus bersyukur acara berjalan lancer dan khidmat. Namun lagi-lagi sesampainya di rumah Dia, Saya melihat beberapa kali bentakan kata kasar dan sebagai hal. Pemandangan ini benar-benar merusak mood Saya.
Hari hajatan pun telah tiba, Sekali lagi pemandangan tak baik ini makin memperburuk mood Saya. Beberapa kali Dia mengeluh membentak bahkan orang pelaminan pun jadi sasaran bentakan. Sungguh Saya tidak bisa menerima pemandangan seperti ini.

Singkat cerita semua yang terjadi memperburuk mood Saya sebagai introvert, belum lagi Saya harus focus dengan ketakutan, Bipolar Disorder dan Ochlophobia Saya. Sayangnya ini dianggap remeh dari awal. Saya menghabiskan sangat banyak energy untuk Kontrol rasa sakit, cemas dan ketakutan.

Meski lelah Saya berhasil, Meski seharian harus mendampingi orang yang marah-marah, membentak dan Saya tahu Dia lagi PMS. Tapi tetap tak enak untuk Saya nikmati. Seperti jauh panggang dari api.

Singkat cerita, Saya harus kehabisan energi dan menderita sakit kepala, jantung berdegup dan memilih untuk menyendiri. Saying sakit kepala tak mau berhenti, Cemas dan tak tenang tetap terjadi.

Istigfar dan Dzikir telah Saya lakukan, Mungkin sakit kepala dan gugup tak bisa membuat Saya berkonsentrasi. Sakit ini makin sakit ditambah sikap dan rasa kecewa yang mendalam.

Apakah yang harus Saya lakukan? Mohon beritahu alasan dan solusi yang tepat. Saya sudah sangat malu dan kecewa. Bunga yang ku harap wangi namun menyakitkan.

Kisah ini ditulis berdasarkan cerita dari penutur Asli. Nama tempat dan waktu kejadian disamarkan. Cerita ini ditulis untuk bahan ajar dan ikhtibar, silahkan sampaikan solusi Anda di bawah di kolom komentar. Tulisan ditulis dan diterbitkan oleh Uncchu.com dengan sedikit pembetulan Bahasa tanpa mengubah isi dan maksud tulisan.